Mengajak Buyut Menolak Lupa
G 30 S PKI
Hari ini
merupakan tanggal yang bersejarah bagi bangsa indonesia. Tepat 49 tahun yang
lalu, terjadi tragedi pembunuhan para petinggi TNI oleh PKI (Partai Komunis
Indonesia). Tragedi yang terjadi Pada pergantian bulan antara tanggal 30
September 1965 hingga awal tanggal 1 Oktober 1965. Yang biasa dikenal dengan G
30 S PKI atau Gestapu atau Gestok.
Hingga saat
ini dalang dari tragedi ini belum diketahui pasti, tetap samar-samar bahkan saya
rasa masih buram. Banyak artikel yang berpendapat bahwa tragedi ini didalangi
oleh PKI, namun di lain sisi juga banyak yang berpendapat bahwa tragedi ini
didalangi oleh Suharto dan amerika. Kedua pendapat didukung oleh fakta-fakta
yang sangat kuat. Sehingga terkadang menimbulkan kebingungan bagi pembaca awam
seperti saya.
Pasca tragedi
G 30 S PKI inilah yang sebenarnya menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Dimana
pada akhir 1965 hingga awal 1966 terjadi Genosida terhadap jutaan simpatisan
PKI di seluruh Indonesia. Bahkan artikel tentang G 30 S PKI di wikipedia.co.id
menggambarkan sungai Brantas yang airnya berubah menjadi merah karena darah
dari simpatisan PKI yang dibunuh dan dibuang di sungai Brantas.
Menanggapi
hal ini. Saya jadi sangat penasaran tentang kejadian pasca G 30 S PKI, khususnya
di daerah saya. Di Grati dan sekitarnya.
Saya terlibat
dialog singkat dengan nenek buyut saya. Nama beliau Nuriatun. Beliau berumur
sekitar 1 abad. Beliau masih sehat bugar, tubuhnya tidak terlalu ringkih. Pendengaranya
juga masih cukup jelas. Beliau merupakan saksi hidup kekejaman penumpasan PKI
di Grati.
Ketika saya
singgung tentang tanggal 30 September, beliau langsung bercerita panjang lebar
tentang PKI. Saya pun serius mendengarkanya dengan seksama.
Beliau berkata
bahwa keadaan saat itu sangatlah tidak kondusif. Banyak pembunuhan dimana-mana.
Para simpatisan PKI sibuk bersembunyi menyelamatkan diri. Para laskar
berkeliaran disudut-sudut kampung dengan parang dan celurit dikalungkan di
pinggang. Siap membantai semua simpatisan PKI yang ada.
“Ranu
iku le, biyen enggen e mbuak wong-wong PKI. Sikile ditaleni watu gedhe moro
dicemplung no nang Ranu”. Begitu tutur beliau. Saya sangat terheran-heran.
Beliau juga
berkata “wong-wong PKI di tumpakno praoto (Truck) le, buyut gak ro
digowo nang ndi, smpek saiki gak mbalek-mbalek”. Aku mengangguk-aguk faham,
ini seperti yang sering dijelaskan di buku-buku sejarah.
Aku pun
bertanya “buyut, kejadian kyok ngunu iku sampek kapan yut?”
“Buyut
lali le, pokok e tenang-tenang e kejadian iku pas riyoyo kurang 3 dino”. Kata beliau sambil
mengingat-ingat kejadian itu.
Ketika
saya searching di google. Keaadaan yang tak kondusif ini memang terjadi sekitar 4 bulan, antara bulan oktober 1965 hingga akhir januari 1966. Dan di
tahun itu pada tanggal 23 januari 1966 bertepatan dengan 1 syawal 1385. Maka bila
menurut apa yang diingat nenek buyut saya, sekitar tanggal 20 januari lah
tepatnya keadaan Indonesia, khususnya di Grati kembali kondusif.
Pada
akhir dialog saya dengan nenek buyut saya. Beliau berpesan. Jika diartikan
kedalam bahasa indonesia kurang lebih beginilah pesanya. “pada saat itu le.
Zaman dimana yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar. Tapi Gusti
Allah tidak tidur le. Gusti Allah hanya satu pada saat nya
nanti semua akan terbukti dengan sendirinya”.
Begitulah
akhir dialog singkat saya dengan nenek buyut saya. Diakhiri pesan yang tersirat
dan begitu bermakna. Dan dari dialog ini pun, kini aku mengerti arti tentang slogan
yang selalu digembor-gemborkan guru sejarahku dulu waktu aku SMP.
”History make men wise”. Sejarah membuat seseorang
bijaksana.